Home

09 March 2013

Merah Ke Biru

Pada akhir bulan dua tahun duaributigabelas ini aku memilih untuk menyudahi rasa bentrokan yang ada, sarapan pagiku secangkir kopi pahit dan rentetan cerita seperti kaset kusut yang diputar berulang kali. perpindahanku meninggalkan ibu kota lautan api hampir tak berbekas karena singkatnya waktu dan kekosongan rasa dalam keseharian. bulan dua hanya perlu dua hari untuk menyudahi, aku putuskan untuk meninggalkan bandung. Tujuanku adalah pulang ke kota budaya jawa (solo) dan kulanjutkan ke kota darurat mataram kuno(nganjuk). akan ku sisihkan waktu untuk keluargaku,kebun,sawah,dan kursi kayu teras, kursi bambu warung nasi pecel langgananku didepan pasar. sore akhir bulan dua cerita berjalan berbeda, ada takdir lain yang harus ku lanjutkan, sebuah tugas ditempat berbeda, aku kembali ke ibukota untuk menceritakan kisah ini. bukan di sudirman tempat lama (merah), kali ini di iskandar muda,kota selatan ibukota aku harus meluangkan waktu, menjalankan amanah dari yang Kuasa menitipan tugas baru ditempat baru (biru) untuk ku. Perjalanan ini memang untuk dilalui tanpa harus ada perdebatan dalam diri,keyakinan atas kekuatan besar yang menuntun menguatkan hati.

20 January 2013

Bumi menjawab

hiruk pikuk ibukota yang mendadak di datangi tamu yang melantunkan nyayian berkubik-kubik air sungai yang menyambangi jalan protokol. itulah peristiwa pada hari kamis 17 Januari 2013. tidak biasanya air itu menolak dan menegur manusia ibu kota yang setiap hari terkesan angkuh dan melenggang santai menjejali rumah air dengan tumpukan sampah. Saya pikir ini jawaban dari sekian lama air bersabar akan ulah manusia yang begitu tidak menghargai keseimbangan ekosistem, dimana letak sampah bukanlah disungai, rumah manusia tak seharusnya menggusur wilayah sungai,

Urbanisasi tanpa kesadaran memang sungguh menjadikan ibukota surga sampah, makan dari hasil sampah adalah salah satu mengapa urbanisasi merajalela, jika di desa mungkin tidak sebanyak sampah di TPA jakarta, di desa kita masih memiliki sedikit lahan untuk membakar sampah, dan menjadikannya tanah. Apakah modernisasi mulai menggusur kesadaran penduduk negeri nusantara ini?

Sejarah besarnya bangsa Nusantara dahulu seperti santapan pembumbung dada, yang dibanggakan tanpa diwarisi hikmahnya sama sekali oleh generasi penerus, menjadikan terkikisnya toleransi pada alam semesta, menggerus kekayaan alam untuk melenggangkan nafsu perutnya, tanpa ampun meluluhlantahkan bumi, dan tanpa sadar bumi akan mengajak manusia untuk kembali ke bumi (mati karna bencana).